Saya yakin, kamu yang membaca postingan blog ini juga sering mendengar ungkapan “Sirik tanda tak mampu“. Benarkan sirik adalah tanda bahwa kita nggak mampu? Dalam menuliskan tema ini, saya merefleksikan pengalaman saya dalam mencerna perasaan iri yang saya miliki pada orang lain. Pada dasarnya, sirik, iri, ataupun dengki menurut saya adalah perasaan yang wajar bagi manusia.
Menurut KBBI, kata “iri” berarti merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain (beruntung dan sebagainya); cemburu; sirik; dengki. Dari makna kata “iri” yang sebenarnya, tersirat bahwa saat merasa iri, kita merasa nggak puas dengan keadaan kita setelah melihat kondisi orang lain. Dalam postingan blog ini, saya akan menggunakan kata “sirik” untuk mendeskripsikan rasa iri hati.
Sebagai seorang anak sulung, saya seringkali merasa sirik dan cemburu pada adik-adik saya. Saya nggak dekat dengan Mama dan saya merasa saya nggak akan pernah bisa seperti adik-adik saya yang sangat dekat dengan Mama. Sulit sekali bagi saya untuk bisa berdamai dengan perasaan sirik tersebut, hingga akhirnya saya bisa pelan-pelan menerima kemungkinan kenyataan bahwa bagi Mama, saya adalah sosok yang sudah cukup dewasa dan mandiri. Ketika saya sudah mulai bisa menerima kenyataan tersebut, ternyata hubungan saya dan Mama bisa perlahan membaik. Saya pun menyadari bahwa kita nggak akan bisa membandingkan hubungan yang satu dengan yang lain, karena nggak akan pernah sama dan nggak akan ada habisnya. Seperti halnya dalam hubungan romantis, ketika kita membandingkan pacar dengan mantan pacar… pasti nggak akan ketemu. Dengan menerima suatu hubungan dengan apa adanya, dengan semua kekurangan dan kelebihannya, kita bisa benar-benar ‘penuh’ dalam menjalani hubungan tersebut. Dalam hal ini, saya bisa menyimpulkan bahwa dalam suatu hubungan, munculnya rasa sirik bukan berarti tanda nggak mampu.
Nggak hanya soal hubungan adik-adik saya dengan Mama saja, dulu saya sering merasa sirik karena adik-adik saya memiliki tubuh yang cenderung lebih tinggi dan lebih kurus dibandingkan saya. Mereka jauh lebih ramping. Kasarnya, adik-adik saya mendapatkan bentuk fisik terbaik dari kedua orangtua: tubuh tinggi dari Papa dan tubuh ramping dari Mama. Sebaliknya, saya seperti mendapatkan bentuk fisik terburuk: tubuh pendek dari Mama dan tubuh gemuk dari Papa. Sejak memasuki masa pubertas, saya sudah terbiasa diet, olahraga mati-matian dan bahkan dalam beberapa kondisi membiarkan tubuh saya kelaparan demi menjadi seseorang yang bertubuh kurus. Body shaming sudah kenyang saya terima sejak kecil. Padahal mungkin banyak juga orang-orang yang menganggap saya nggak gemuk.
Butuh 16 tahun bagi diri saya untuk bisa menerima tubuh saya apa adanya. Pada tahun 2020 ini, akhirnya saya bisa berdamai dengan tubuh saya sendiri. Ketika mulai mempelajari ilmu kesehatan Ayurveda, saya kemudian mengetahui bahwa tubuh saya memang cenderung lebih pendek dan mudah gemuk. Masing-masing manusia diciptakan dengan bentuk badannya masing-masing, tentunya dengan kelebihan dan kekurangannya. Saya akhirnya bisa mencerna bahwa tubuh yang saya miliki adalah rezeki nggak terbatas dan nggak ternilai, dimana cara terbaik untuk mensyukuri rezeki ini adalah dengan merawat tubuh saya sendiri. Karena saya sadar bahwa saya mudah gemuk dan saya nggak ingin sakit dalam usia yang cukup muda seperti Papa, saya mulai berdiet sejak 2 bulan lalu demi merayakan tubuh saya sendiri serta memiliki hidup yang lebih sehat. Saya bangga pada diri saya sendiri karena saya bisa berhenti sirik akan tubuh orang lain. Dalam hal ini, saya bisa dibilang setuju dan juga nggak setuju bahwa sirik adalah tanda nggak mampu. Dengan bentuk tubuh yang saya punya, saya nggak akan mampu untuk bisa menjadi sekurus adik saya, misalnya… Tapi di sisi lain, saya juga mampu untuk merayakan dan mensyukuri tubuh yang saya miliki dengan merawatnya. Ketika saya bisa berdamai dengan perasaan sirik akan tubuh orang lain, saya pun jadi mampu untuk menerima dan mencintai tubuh saya sendiri.
Rasa sirik yang umum terjadi terkait dengan masalah ekonomi atau rezeki berbentuk materi. Mungkin ini adalah rasa sirik yang paling sulit untuk ‘dijinakkan’ bagi saya. Saya memiliki banyak pengalaman pahit terkait materi, terutama di keluarga saya. Kedua orangtua saya berasal dari keluarga yang kurang mampu. Hidupnya pas-pasan banget. Bersekolah hanya sampai SMA, saya bangga banget karena kedua orangtua bisa membesarkan kami (saya dan adik-adik) menjadi perempuan-perempuan yang sangat mandiri dan kuat. Meski demikian, kepahitan ekonomi saya rasakan sekali ketika Papa berhenti bekerja sejak tahun 2009 karena sakit stroke hingga akhirnya meninggal dunia pada Oktober 2019 lalu. Sejak saat itu, keluarga kami bergantung pada tabungan saja… Bersyukur, kami masih punya 1 mobil dan 1 rumah setelah Papa meninggal. Kemampuan Mama mengatur keuangan dan berhemat selama Papa sakit dan kami harus terus sekolah juga turut berkontribusi sehingga kami nggak perlu berutang untuk biaya pengobatan, biaya sekolah, serta pengeluaran sehari-hari.
Saya punya teman-teman dekat sejak SMA dan keluarga mereka sebuah jauh lebih kaya dibandingkan keluarga saya. Semakin saya bertambah tua, saya merasa bahwa uang sangatlah penting. Saya sirik melihat mereka bisa berlibur bersama keluarga ke Eropa berbulan-bulan dan semua anggotanya sehat sekali. Saya sirik melihat teman-teman saya dibelikan rumah dan mobil oleh orangtuanya, sementara saya dan suami harus mati-matian bekerja keras gali lubang-tutup lubang untuk bisa membeli rumah dan merenovasi. Kami juga belum punya mobil dan hanya bisa meminjam mobil milik orangtua. Rasa sirik ini kemudian memberikan rasa sedih dan marah bagi diri saya sendiri. Berapapun uang yang saya hasilkan, saya merasa nggak pernah cukup. Apalagi di saat pandemi seperti ini, tabungan saya menipis drastis. Saya lelah sekali. Saya nggak pernah merasa tenang dan damai.
Pada akhirnya saya berhasil menyadari bahwa rasa sirik luar biasa yang saya miliki hanya bisa membuat saya membenci keadaan saya sendiri. Selama ini saya percaya pada konsep karma dan reinkarnasi, tapi nggak benar-benar mengaplikasikannya pada kehidupan saya sendiri. Dengan benar-benar memahami dan mendalami konsep karma dan reinkarnasi, saya bisa berdamai dengan keadaan saya sendiri dan berdamai dengan rasa sirik yang ada di dalam diri saya. Mungkin kehidupan yang saya miliki sekarang adalah buah dari perbuatan saya di kehidupan sebelumnya. Inilah saatnya saya untuk mensyukuri dan menjalani hidup saya dengan sebaik mungkin supaya di kehidupan berikutnya saya nggak perlu menderita, terutama secara batiniah.
Saya bersyukur, meski saya belum bisa berlibur ke Eropa bersama keluarga saat ini, seenggaknya pada awal Januari 2020 kemarin, saya bisa berlibur bersama keluarga lengkap untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Papa saya sekarang sudah nggak sakit lagi dan bisa tenang di atas sana. Kami sekeluarga sehat dan Papa saya nggak usah mengkhawatirkan saya karena saya memiliki suami yang bisa menjaga dan menyayangi saya sepenuhnya. Senggaknya, kami masih punya 1 rumah dan 1 mobil untuk menjalani hari-hari. Kami bebas dari utang biaya pengobatan Papa dulu.
Saya juga bisa menyadari bahwa teman-teman dekat saya yang sangat beruntung memperoleh semua itu nggak secara cuma-cuma begitu saja. Itu semua adalah hasil kerja keras mereka di kehidupan sebelumnya–karma mereka. Memiliki materi yang banyak juga nggak berarti mereka semua bebas dari masalah. Mereka punya masalahnya masing-masing.
Pada akhirnya, saya bisa berdamai dengan rasa sirik dan menyimpulkan bahwa sirik sebenarnya adalah tanda ketidakmampuan diri dalam menerima dan mensyukuri keadaan dan hidup secara penuh. Lagi-lagi, saya setuju dan nggak setuju adalah tanda nggak mampu, karena semua itu tergantung dari kacamata mana kita melihatnya.
Semoga kita semua selalu bahagia dan bebas dari rasa sirik. Terima kasih sudah mampir dan membaca! 🙂
kuncinya itu selalu bersyukur
Setuju, Kak. Semoga kita nggak lupa bersyukur kapanpun itu. 🙂
menghilangkan iri atau sirik berarti harus dengan benar2 memahami makna bersyukur yaa
Betul banget.. Kita harus belajar memaknai hidup dan diri kita sendiri. Semua udah diberikan sesuai dengan porsinya oleh Yang Di Atas. 🙂
Harus sabar Mbak memang nasip setiap orang berbeda, klo kita semakin sirik malah semakin sakit sendiri diri ini.
Sya juga kadang merasa iri tapi rasa itu harus di lawan agar hati bisa sehat hehe
Bener banget, Mas. Semangaaat! Semoga kita selalu semangat dan bersyukur ya… sehingga bisa bebas dari rasa iri dan selalu fokus ke diri kita sendiri. 🙂
yes semoga kita semua diberi kebahagiaan dan bisa membahagiakan orang tua juga
percaya diri dengan kemampuan diri dan berusaha bersyukur dengan apa yang dipunyai sekarang
Amiiiin. Semoga kita selalu semangat dan berusaha juga, ya. Take care! Thank you udah mampir dan membaca. 🙂