Sudah satu bulan berlalu sejak saya mulai menuliskan postingan ini tanpa menyelesaikannya sampai tuntas. Tepatnya pada 28 Maret 2017 yang lalu. Saya berada dalam dilema dan kesedihan, apalagi belakangan ini banyak kasus dan berita soal isu intoleransi antar umat beragama di Indonesia. Namun, saya merasa perlu menuliskan pengalaman saya ini.
Sebagai seorang warga Indonesia keturunan Tionghoa dan seorang non-Muslim, saya sering banget dapet pertanyaan, “Nggak apa-apa gitu lo kuliah di UI? Nggak ada yang rasis apa?” Saya pun biasa menanggapi pertanyaan tersebut dengan sebuah senyuman simpul. Terbiasa belajar di sekolah swasta sejak playgroup hingga SMA, dimana mayoritas orang-orang di lingkungan saya adalah non-Muslim dan kebanyakan juga keturunan Tionghoa, tentu saya memiliki bahnya kekhawatiran dan keraguan sebelum akhirnya memutuskan untuk kuliah di UI.
Kekhawatiran bahwa saya akan diperlakukan dengan rasis dan nggak adil karena saya adalah seseorang dari kalangan minoritas. Dan kekhawatiran tersebut nggak dialami oleh saya sendiri. Mulai dari teman-teman dekat hingga keluarga, mereka begitu khawatir. Saya juga sempat ragu kalo nantinya saat kuliah di UI, saya akan didiskriminasi dan nggak bisa beradaptasi dengan teman-teman baru.
Saya mulai kuliah di UI pada Agustus 2010. Usia saya saat itu masih 18 tahun. Meskipun saya terbiasa berada di lingkungan sesama keturunan Tionghoa dan non-Muslim, sebelum kuliah di UI saya juga biasa berteman dengan teman-teman ‘pribumi’ dan Muslim–walau sebenarnya saya nggak pernah suka dengan istilah ‘pribumi’ karena bagi saya, setiap orang yang lahir, besar, dan tinggal di Indonesia adalah seorang pribumi. Saya ingat betul bagaimana saya sering bermain dengan anak-anak yang tinggal di kampung dekat kompleks rumah saya. Mulai dari main masak-masakkan hingga main sepak bola di lapangan dekat rumah. Dan mereka nggak pernah sekalipun memperlakukan saya secara berbeda.
Pengalaman bergaul dengan banyak orang dari berbagai latar belakang pada akhirnya membuat saya berpikir lebih optimis dan positif bahwa saya pasti bisa beradaptasi dengan teman-teman baru di UI sekalipun saya mungkin ‘berbeda’. Apalagi, dari kecil saya selalu percaya pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang sudah ‘dicekoki’ pada semua warga negara Indonesia sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Jika ada yang belum tahu, saya dulu kuliah jurusan Sastra Inggris atau Program Studi (Prodi) Inggris di UI. Di angkatan saya, yaitu di angkatan 2010, totalnya kurang lebih ada 100 orang dengan 60 orang dari program reguler dan sekitar 40 orang dari program paralel. Dari 100 orang tersebut, saya ingat hanya ada 4 orang yang merupakan keturunan Tionghoa termasuk saya sendiri; 3 perempuan dan 1 laki-laki. Kepercayaan kami pun berbeda-beda; ada yang Muslim, ada yang Kristen, ada yang Buddha, sementara saya sendiri beragama Katolik.
4:96 sama sekali bukan angka yang besar. Hanya 4% mahasiswa-mahasiswi keturunan Tionghoa yang belajar di jurusan saya. Kenapa hanya ada 4 orang? Saya tahu betul, ini bukan perkara UI yang dianggap rasis dalam menerima mahasiswa dan mahasiswinya. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa WNI keturunan Tionghoa seperti saya hampir nggak mungkin diterima menjadi mahasiswa di UI. Jadilah, banyak WNI keturunan Tionghoa yang takut untuk mencoba ‘masuk’ ke UI. Belum lagi, kami (ya, termasuk saya) takut bila kami diperlakukan secara rasis saat masuk ke UI. Dan anggapan atau pemikiran ini sebenarnya nggak hanya terjadi di UI saja, tapi juga di universitas-universitas negeri yang lain.
Awalnya, saya memilih mencoba ‘masuk’ ke UI karena saya ingin mencari suasana baru setelah sebelumnya saya sekolah di dekat rumah. Selain itu, saya juga ingin kuliah dengan biaya yang lebih murah, apalagi sejak tahun 2009 Papa (hingga sekarang) sudah nggak bekerja lagi karena sakit stroke. Alasan yang begitu simpel, bukan? Meski awalnya banyak orang-orang di sekitar saya yang takut bahwa saya akan diperlakukan secara rasis dan nggak adil sebagai seseorang yang dianggap ‘minoritas’, tapi toh nasib akhirnya membuat saya belajar di UI untuk ‘membuktikan’ apakah semua anggapan buruk tentang kuliah di UI, terutama di kalangan minoritas.
Singkat cerita, saya beradaptasi dengan amat sangat baik sekali di UI. Nggak ada tuh yang namanya perlakuan rasis hanya karena saya seseorang keturunan Tionghoa dan non-Muslim–sekalipun saya bertemu dan berkenalan dengan teman-teman Muslim yang ‘mungkin’ terlihat keras dan fanatik. Selama 4 tahun kuliah di UI, saya sempat bergabung dengan grup orkestra UI, mengikuti organisasi pertukaran mahasiswa yang membuat saya bisa mencicipi kehidupan di Turki, menjajal kemampuan bermain biola saya dengan ikut teater sebagai pemusik dan sempat jadi anggota band… Ah, intinya kuliah di UI benar-benar membuat saya mengalami hal-hal yang nggak pernah terbayangkan oleh saya sebelumnya. 🙂
Bahkan saya sempat menjadi model untuk kalender UI. Hehehe… Kalender itu sampai sekarang masih dipajang di rumah saya oleh Mama. 🙂
Sekali-kalinya saya pernah diperlakukan secara rasis selama kuliah di UI, kejadiannya pun nggak terjadi di dalam UI, melainkan di Jalan Margonda Raya saat saya sedang berjalan kaki dan ada beberapa orang yang memanggil saya “Cici… Cici mau ke mana, Ci?” Yep, catcalling. I hate it. Selain itu, saya nggak pernah sekalipun diperlakukan secara berbeda selama kuliah di UI.
Kuliah di UI membuat saya percaya bahwa saya bukanlah kaum minoritas. Karena bagi saya sendiri UI adalah salah satu miniatur Indonesia. Di UI saya bertemu dengan teman-teman dari berbagai latar belakang dan dari berbagai daerah–dari Sabang sampai Merauke. Dan nggak hanya di UI saja, saya percaya bahwa ada banyak tempat untuk kami yang disebut-sebut sebagai kaum minoritas di Indonesia. Bahkan kedua adik saya juga bisa beradaptasi dengan baik di dua universitas negeri lain yang berbeda dengan saya. Satu adik saya kuliah di Unpad dan satu adik saya kuliah di UNS. Kami beruntung, kami dibesarkan di keluarga yang nggak takut untuk melepaskan ketiga putri mereka untuk kuliah di universitas negeri yang berbeda meskipun mereka sering mendengar kabar miring tentang perlakuan nggak adil bagi kaum minoritas seperti kami.
Sayangnya, belakangan ini banyak isu-isu soal intoleransi antar umat beragama yang beredar. Saya sedih. Baru kali ini saya benar-benar sadar bahwa saya adalah kaum minoritas dan sepertinya nggak ada tempat untuk mereka yang dianggap non-pribumi dan non-Muslim. Ini bukan masalah Ahok-Djarot yang nggak terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur, tapi tentang betapa sempitnya pemikiran mereka yang merasa ‘berhak’ untuk memperlakukan kaum minoritas secara nggak adil. Sepertinya memang banyak yang lupa bahwa Indonesia punya prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Namun ketika saya bersedih hati dan kecewa akan isu-isu tersebut, di saat itulah saya sadar bahwa saya masih punya harapan tentang toleransi antar umat beragama dan keberagaman di Indonesia dengan hadirnya teman-teman saya yang berasal dari berbagai latar belakang. Pengalaman saya kuliah di UI sebagai seorang Tionghoa dan non-Muslim mungkin nggak seberapa, tapi buat saya sendiri, pengalaman kuliah di UI selama 4 tahun benar-benar membuat pikiran saya terbuka. Saya pun terus berusaha mendorong teman-teman sesama keturunan Tionghoa dan non-Muslim yang ingin belajar di UI dan di universitas negeri lainnya untuk nggak begitu saja melepaskan mimpi mereka. Percayalah bahwa kita bisa belajar di manapun dan kita bukanlah minoritas. Kita semua adalah warga negara Indonesia tanpa terkecuali.
Dan bila selama ini para orang tua kaum minoritas seperti saya memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah swasta, saya tahu betul, bahwa selain karena kepercayaan orang tua pada kualitas sekolah tersebut, orang tua juga memiliki kekhawatirannya sendiri bila anak-anak mereka akan diperlakukan nggak adil bila disekolahkan di sekolah negeri. Kekhawatiran dan ketakutan tentu akan selalu ada, tapi saya yakin bahwa akan selalu ada harapan untuk toleransi dan solidaritas di setiap sudut Indonesia.
Saya berharap Bhinneka Tunggal Ika bukan hanyalah hafalan belaka. Saya pun sudah membuktikannya selama saya kuliah di UI. Dengan kuliah di UI, saya jadi punya harapan akan Indonesia yang memiliki jiwa solidaritas yang tinggi dalam menyambut keberagaman serta memiliki jiwa toleransi antar umat beragama. Semoga harapan saya bisa benar-benar terkabul suatu hari nanti. Semoga.
Tenang saja. Saya malah triple minoritas. Yang penting, tunjukkan jiwa besar kita. Saya malah jadi ketua untuk kelompok terbesar di UI dari 5ahun 1997 dan bahkan jadi ketua untuk sebuah front nasional dari beberapa kampus besar di tanah air ini.
Menarik tulisannya kk tapi kamu beruntung kuliah di era yang aku pikir lebih baik.
Aku pribumi sejak TK sampai SMP sekolah di sekolah swasta ( jangan tanya angkatan berapa ) tapi yang jelas di era itu teman teman aku keturunan tidak bisa merayakan Imlek . Ketika membolos untuk merayakan Imlek besoknya mereka dipanggil kepala sekolah dan dijemur di lapangan. Sadis.
Dan aku sangat inget , seorang teman keturunan pernah bilang. Hanya ada dua bangku bagi warga keturunan di setiap jurusan kampus negeri. Dan ini terbukti, di era itu seragam di tiap jurusan hanya ada dua orang mahasiswa keturunan.
Aku pikir setelah era baru semua orang bisa membuka hati tapi belakangan jauh lebih buruk dari yang aku bayangkan.
Semoga kita semua bisa lebih membuka hati dengan toleransi.
Good story, Sefin. Aku tinggal di lingkungan yang sebagian besar non muslim. Kuliah pun aku sebenarnya minoritas. Tapi yang aku rasakan gak ada tuh perbedaan-perbedaan yang besar. Malah aku bilang yang bikin pecah tuh orang-orang di luar sana yang sibuk berkoar-koar memecah persatuan bangsa.
Saya muslim. Sejak sekolah di sekolah umum dimana muslim dan non muslim bercampur. Kita biasa aja tuh main bareng. Nggak ada yang sombong karena mayoritas ataupun rendah diri karena minoritas.
Saat kuliah, teman akrab saya di organisasi kampus justru nonmuslim, begitu juga teman akrab di kelas.
Masa-masa kuliah juga saya banyak melihat daerah-daerah yang masyarakatnya berbeda secara suku dan agama namun hidup rukun berdampingan. Cuma memang cukup heran sih di media kok beda banget yang terlihat hihihiiii…
He he he…gak nyangka ada sudut pandang begini. Thanks for your sharing…
Bener Pin, kita warga Indonesia tanpa kecuali.
Semoga semua bisa hidup dengan tenang dan bebas di sini ya.
Nnaah, aku dr dulu mau tanya, kira2 orang2 tersinggung ga ya, kalau aku panggil ‘om/pak atau bu/tante instead of ‘cici’ atau ‘kokoh’ kalau lagi di pusat grosir gitu … Btw, kita satu almamater, loh
nimbrung ya.. saya sbg keturunan tionghoa, lebih males dipanggil “cici” daripada “ibu” loh.. gmane banget gt rasanya.. hahaha..
nah informasi ini sebenarnya yg perlu disebarluaskan, karena jujur saya baru tau kalau panggilan “koko” atau “cici” itu menyinggung, saya kira selama ini panggilan tsb merupakan panggilan “sopan” seperti hal nya manggil “mas/mbak” atau “aa/teteh”
suer saya baru tau, dan mungkin masih banyak lagi orang di luar sana yg belum tau hal ini, saya 99% yakin kalau mereka memanggil sama sekali tanpa bermaksud menyinggung, malah ada bbrpa orang yg sengaja manggil “koko/cici” dengan maksud supaya terdengar akrab
Menurut pendapat sy pribadi sebagai keturunan jg, Sebenarnya panggilan cici/koko utk teman tdk apa2..
Krn teman2 sy yg bkn keturunan dan muslim memanggil saya dgn cici, dan itu malah jd seperti panggilan sayang. 🙂
Hanya saja mungkin ketika org luar yg tdk kenal dan langsung memanggil2 cici,(apalagi dengan tujuan godain sperti cerita di atas), itu yang mengganggu 🙁
Sejauh ini saya mungkin cukup beruntung krn teman yg panggil ci juga bertanya dulu sebelum memanggil dengan sebutan itu, dan katanya daripada panjang2 dengan kak “lalu nama” (krn sy senior), jd panggil ci aja krn kebetulan yg TiongHoa jg cm saya 😛
Tapi sy setuju,pengalaman di UI, tdk memberikan kesan yg burul, malah membawa kenangan manis dan lebih mengenal perbedaan2 yang ada dgn lebih baik tanpa terkontaminasi media 🙂
ak keturunan tionghoa totok yg kuliah d itb pd th 1985an,d jur ku hanya ada 2 org turunan tionghoa,tp kami tidak pernah diperlakukan diskriminatif sama skali. sp skrg panggilan sayang teman2 kuliahku pdku adalah cici,hehehe…bagiku biasa aja tuh dipanggil begitu…sewaktu kuliah dulu aku jg beradaptasi dg baik,mempunyai teman dekat yg pribumi dimana kami saling menghormati agama dan ibadah masing2
Semoga org” yg sempit hati dan pikiran di sekitar kita pada akhirnya sadar ini adalah Indonesia. Peluk Sefin
Setuju banget, sis. Dulu juga sempet dipandang rendah sama beberapa saudara, tapi UI itu bener-bener Indonesia, walaupun kita berbeda-beda, tapi UI itu adalah benar-benar INDONESIA yang Bhineka Tunggal Ika.
Gak ada rasis-rasisan, kita semua berbaur, bersahabat, saling toleransi agama (malah saya suka ikut acara-acara keagamaan lain, eheheh), dan saling melengkapi.
UI is one of the best moment on my life.
btw #VivaVivaVivaFasilkom :p
Aku kok bacanya sedih. Sedih banget emang ngeliat kehidupan (khususnya) Jakarta belakangan ini. Terlalu banyak orang – orang yg pola pikirnya sangat sempit. Saya muslim, dan teman – teman saya banyaaak sekali yang keturunan Tionghoa dan beragama non-muslim. Kami so far baik – baik saja, nggak ada rasanya yg saling menyakiti karena kami percaya pada Tuhan kami masing – masing. Saya pun sedih ada yg seagama dengan saya dan berbuat seenaknya tanpa pernah berfikir tentang perasaan orang lain. Sedih banget! Sekaligus malu karena mereka adalah teman – teman muslim saya.
Stay strong, Sefin! Tenang, tidak semua muslim seperti itu kok. Karena dalam ajaran islam pun tidak ada kewajiban membenci orang – orang yang beragama lain. And you will always be my friend 🙂
Btw, I love your smile. Cantik banget sih!
Menarik sekali mbak.. saya seorang muslim. Teman2 saya juga banyak yang non muslim.. intinya saling menghormati..
Hai.. salam kenal.. saya juga lulusan FTUI angkatan 2003. Sama seperti yang kamu alami, saya juga sempat khawatir ketika hendak mendaftar masuk UI karena double minoritas itu : Keturunan Cina dan Katolik.
Ayah saya sekitar tahun 70an ketika hendak daftar masuk UI sudah ditanya “Kamu Cina ya?” dan sudah bisa ditebak bagaimana endingnya.. hehee. Saya baru tahu ternyata sejak tahun 68 ada pembatasan WNI keturunan Cina (yg waktu itu dikategorikan sebagai WNA) untuk belajar di institusi negeri (saya pernah baca di sebuah blog).
Di angkatan saya kalau tak salah ada 70 orang, yang non muslim habya sekitar 15 orang. Yang keturunan China hanya 6 orang. Puji Tuhan saya bisa beradaptasi dengan teman-teman saya yang lain, bahkan sahabat2 dekat saya adalah mereka yang muslim. Mereka mengajak saya ikutan istirahat di mesjid kampus, mengajak saya bantu2 saat acara buka puasa bersama. Waktu bulan puasa mereka bahkan mengingatkan saya untuk makan siang ke kantin, bahkan beberapa orang masih mengucapkan selamat Natal. Kami sering mengingatkan untuk melaksanakan ibadah kami masing-masing dan tak pernah masalah SARA menjadi issue dalam kebersamaan kami.
Satu hal yang saya tak bisa lupakan, saat masa2 Natal di semester 7, kami seangkatan siap2 untuk ujian akhir mata kuliah perancangan pabrik. Teman2 sekelompok yang muslim dengan ikhlas menghandle tugas kami2 yang merayakan Natal..
Sefiin.. Aku jarang banget iseng komentar blog orang. Tapi kalau yang ini rasanya harus banget dikasih komentar ya!
Dulu kita pernah sekelas waktu bahasa turki (hope you still remember it, karena beberapa kali ketemu agak sungkan ya nyapa takut kamunya lupa, Haha!)
Tulisan kamu cantik. Terima kasih sudah mau sharing..
aku baru tahu dari tulisan kamu ini, ternyata alasan Etnis tionghoa cenderung milih sekolah “homogen” itu begitu, aku pikir karena ingin ekslusif lho, haha…)
Tapi etnis tionghoa di UI udah lumayan banyak ya.. bahkan guru besar aja banyak yang etnis tionghoa.. Dan kami sebagai muslim dan ‘pribumi’ tetep hormat sekali pada mereka karena keilmuan mereka yang luar biasa kok!
Siapapun itu, kalau memang tulus, aku yakin akan selalu “ngena” di hati orang di sekelilingnya.. 🙂
Tulisan yang baik dan memang benar adanya. Namun, pada generasi sekarang rasisme itu terjadinya bukan di UI. Rasisme lebih banyak terjadi di kalangan bawah. Ambil contohnya, saya sewaktu SMP di smp negeri desa saya sangat sering dapat perlakuan rasis dari murid maupun guru. SMA, kuliah dan pekerjaan saya kebetulan bersama dengan orang berpendidikan dan sama sekali tidak ada masalah. Baik ketika SMA dengan mayoritas pribumi berpendidikan, maupun kuliah saya yang mayoritas Chinese (di Singapura). Kita juga blend dengan sangat baik dan bahkan bisa leluasa membuat bercandaan rasis satu sama lain (teman baik kuliah saya 1 jawa, 1 batak, 1 padang dan 2 Chinese)
Kalau kasus rasisme di kuliah, itu terjadinya satu generasi di atas. Ayah saya masih banyak first hand experience racism di FK UGM. Beliau bahkan dikatakan: kamu mau jadi asdos? Coba lihat sekitarmu lah? Apa ada orang yang bentuknya seperti kamu?
Tl Dr, tulisan tentang UI ini benar dan terpercaya. Namun, rasisme di Universitas sudab sangat jarang. Rasisme sekarang berada di kelas yang lebih bawah. Ini trend yang sangat baik dan semoga kelak rasisme bisa semakin berkurang
Kak Sefin! Thanks for sharing. Back then waktu masih di UI, dan sekarang udah di kampung halaman, rasanya jauh bangeeeeeeeeeeeeeeet bedanya. Di sini rasismenya lebih kentara dan keberpihakan pada agama tertentu masih kentel banget 🙁
Holla kak Sefin, ahahahha aku baca tulisan kamu cuma bisa meringis. Aku meskipun Muslim dan Pribumi tetep dikira bukan, jadi rasanya sedih /?
Gimanapun bentuknya, percayalah tetap akan ada ruang untuk orang baik. Aku cenderung selalu berbaur dimana saja, tapi kadang itu engga dilakukan oleh keturunan Thionghua, itu aku alami pas SMA, miniatur Indonesia juga waktu sekolah SMA berasrama, sayang nya ‘gep’ itu kerasa meskipun emang engga ada rasisme yang terjadi, cuma seringkali keturunan Thionghua selalu berkumpul sendiri. Jadi melalui komen ini, aku mau bilang, banyak banget kok yang mau dan ga membedakan tapi sering kali kaum keturunan juga jangan selalu takut, apa lagi memisahkan diri.
Karena itu tadi, kita Bhineka ???
Jadi inget, bahkan angkatan kita dulu sampe becandaannya rasis, saking open-nya sama keberagaman ? Sefin, whenever you feel down, afraid, or threatened as a Chinese, just remember that you belong here no matter what ❤️ You’re a proud (and to be proud of!) Indonesian girl after all ?
Maaf yaaa Sefin 🙂
Mereka yang melihat kamu berbeda mungkin belum bisa membuka kaca mata dan halaman buku lainnya 😛
Pilgub Jakarta efek ini membuat perbedaan menjadi terlihat pembeda, dan terasa banget. Padahal, secara personal saya (sebagai orang Jawa-yang enggak banyak beban) enggak pernah membeda-bedakan teman: apakah ia pribumi atau non-pribumi 😀
Mungkin dari semua cerita intinya adalah pendidikan (sotoy-biar keliatan bermutu ae), mungkin mereka yang di luar sana yang lagi ‘hot’ (akhir – akhir ini) adalah orang2 (tdk) berpendidikan yang mengesampingkan atau bahkan tidak menerapkan pendidikannya di kehidupanya, demi suatu kepentingan,
Padahal ada di pelajaran anak SD loh, PPKn (ketahuan umur ye)
– Saling menghormati
– Saling menyanyangi
– Tenggang Rasa (MUNGKIN WAKTU SD ORANG ORANG ITU ADALAH SI BADU (yang di buku Bahasa Indonesia selalu menjadi anak nakal, gak kayak budi))
-Eh ini mungkin loh ya,, mungkin,,,,,,
(wish: Semoga nanti tidak ada lagi manusia di indonesia yang seperti itu)
Btw, Aku seorang muslim, dan sahabatku dari SMA, keturunan tionghoa totok dan beragama konghucu, dan kami saling menghormati, saling menyayangi, bahkan mungkin kita sudah seperti kakak adik.
So Semua sama aja,yang namanya manusia, tetap kecil di mata Tuhan, tetap sejajar dengan manusia, 🙂 🙂 🙂
Ya, kita yang berada di akar rumput lebih tau fakta yg sebenarnya. Jangan mudah tergiring opini medsos dan hoaks yg sudah direkayasa oleh segelintir orang yg dimabuk ambisi pribadi. Damailah Indonesiaku selamanya. Aamiin yra
wah angkatannya sama. hahaha
iya, gw juga dari tk-sd-smp-sma itu di swasta.
TK-SD di swasta yg sekuler, SMP-SMA di swasta kristen.
lalu tiba2 masuk UI untuk kuliah karena bokap gw juga baru berenti kerja 2009 (sama lho kita). soalnya di UI lebih murah dari swasta.
kasusnya sama persis kaya gw. orang2 langsung heboh nanya, ga takut kalo nanti cina sendirian, dsb.
tp selama di UI juga gw ga pernah didiskriminasi. mungkin karena gw di psikologi ya. semuanya diterima. jangankan yang beda etnis dan agama, yg beda orientasi seksual juga diterima disitu hahaha
selama kuliah juga temen gw yang paling deket itu cewe muslim, yang berhijab. sementara gw cowo, aktif di PO Psiko haha beda 180 derajat.
tp ya mungkin tidak semua orang dapet pendidikan yang baik, tidak semua orang juga diajarkan untuk berbaur, sehingga merasa asing dengan bangsanya sendiri. 🙂 didoakan saja semoga pemerintah sadar kalau mereka bisa mengendalikan dan menghilangkan problem ini, bukannya malah dikendalikan oleh kepentingan segelintir orang.
halo, Mba
Salam kenal. saya lulusan 2008 ini, fakultas yang terkenal dengan LAGU SOMBONG-nya.hehe
di fakultas ini buanyak koq teman-teman non muslim dan non pribumi (klo istilah ini saya juga kurang suka, toh kebanyakan orang Indonesia juga campuran ras) dan kita biasa sajalah dalam bergaul. kami biasa kerja kelompok dan dekat dengan teman-teman non muslim.
saya “celana ngatung” dan mengharamkan pemilu lhoo apalagi ngomongin politik mulu. tapi kasus kemarin buat kami tidak terima (mohon maaf ya) dan membuat sebagian kami terpaksa memilih juga. prinsipnya adalah saling menghargai saja dan tidak perlu ikut campur urusin doktrin agama lain.
masa gara2 ulah 1 orang kita harus beranteman mulu..gak enak bangetttttt
kadang malah saya merasa minder saat menjadi mayoritas, dengan jumlah yang banyak kok malah seenaknya dalam berperilaku. Dan malah pengen cari pasangan hidup keturunan tionghoa. hehe :D…
cerita yang keren, love it.
Halo Mas, salam kenal! Wkwkwkwkw… plus minus sih ya, pasti ada minusnya juga hidup sebagai mayoritas. Semoga dapet pasangan hidup keturunan Tionghoa ya! Hehehe… Terima kasih sudah mampir dan membaca. 😀