DalSebelum masuk ke topik cara berkomunikasi dengan Generasi Z atau Gen Z, saya sendiri masih agak bingung kalo ngomongin soal generasi-generasi. Berbeda sumber, berbeda juga tahun-tahun lahir tiap generasi. Setelah membaca beberapa definisi, akhirnya saya bisa menyimpulkan bahwa Gen Z lahir di rentang pertengahan tahun 1990an hingga 2010an. Sedangkan untuk Generasi Milenial atau Gen Y yang berada tepat sebelum Gen Z, lahir pada rentang tahun 1980an awal hingga pertengahan tahun 1990an. Saya lahir di tahun 1992 dan menurut kesimpulan saya di atas, berarti saya termasuk ke dalam Generasi Milenial. Meski jarak umur saya dengan para Gen Z sebenarnya nggak terlalu jauh, nggak jarang saya mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan Gen Z. Melalui postingan blog ini, saya mau sharing tentang cara saya menghadapi kesulitan tersebut.
Saya punya adik bungsu yang berkuliah di Solo dan lahir di tahun 1998, secara otomatis dia masuk ke Gen Z. Sebagai seorang anak sulung Generasi Milenial, berkomunikasi dengan adik itu menantang banget. Kami seriiing sekali beda dan adu pendapat. Terbiasa bertanya sejak kecil dan memiliki rasa keingintahuan yang besar, sejujurnya berkomunikasi adik saya karena ia merupakan Gen Z sangatlah sulit. Mengutip dari businessinsider.com, Gen Z dikenal sebagai generasi yang bersifat independen, bebas, keras kepala, pragmatis, dan terburu-buru. Sedikit banyak, saya setuju.
Gen Z dikenal menyukai cara berkomunikasi via dunia maya atau komunikasi virtual. Bila bertemu langsung, biasanya saya nggak banyak ngobrol dengan adik saya. Kami lebih sering makan atau bermain bersama. Meski demikian, kebiasaannya berkomunikasi virtual memberikan sisi positif. Karena adik saya aktif di organisasi kampus, ia memiliki banyak teman dari seluruh penjuru Indonesia, bahkan mancanegara. Meski memiliki hubungan jarak jauh, pertemanan mereka bisa tetap erat dan dekat karena mereka sudah terbiasa berkomunikasi secara virtual. Begitu pula hubungan adik saya dengan pacarnya yang beda negara, dengan kefasihan mereka berkomunikasi secara virtual, hubungan mereka bisa sangat awet dan berjalan lancar. Beda banget nih dengan pengalaman saya serta teman-teman di sekitar yang merupakan Generasi Milenial, meski cukup fasih dengan teknologi, kami tetap lebih mengandalkan komunikasi langsung sehingga kebanyakan LDR bubar jalan. Hehehe…
Kefasihan Gen Z dalam berkomunikasi secara virtual juga memberikan manfaat besar, lagi-lagi saya akan mengambil contoh adik saya yang berada di Solo. Sebagai anak bungsu, tentu ia banyak dikhawatirkan keluarga. Meski demikian, kami nggak khawatir karena sudah terbiasa berkomunikasi virtual via WhatsApp dan Instagram. Adik saya pun rajin menelepon. Dan di masa pandemi, saat kampus mengharuskannya kuliah daring dari rumah atau kost, adik saya nggak menemui kesulitan karena sudah terbiasa berkomunikasi virtual.
Gen Z dikenal sebagai generasi yang suka mengedukasi diri mereka sendiri atau self educator. Ini sih bener banget. Saya lihat sendiri buktinya pada adik saya. Ketika ia memutuskan untuk kuliah di Solo, saya sangat khawatir, bahkan saya membantunya mencari kost dan mengajaknya mencoba naik kereta antar kota. Namun, seiring berjalannya waktu, saya sangat lega dan bangga karena adik saya sudah menjadi seorang perempuan yang sangat mandiri. Ia belajar banyak hal secara otodidak, sesimpel belajar makan makanan yang nggak ia sukai. Padahal tadinya adik saya adalah seorang picky eater. Perkembangannya selama kuliah hampir 4 tahun menurut saya sangat mencengangkan. Gen Z seperti nggak kenal takut dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada di depannya. Adik saya juga nggak berhenti belajar banyak hal dan menurut saya ini juga ada hubungannya dengan Gen Z yang dikenal sebagai generasi yang independen dan bebas. Mereka begitu terbuka pada hal-hal baru dan nggak takut untuk mencoba.
Cukup dekat dengan keluarga saya, pacar adik saya juga seorang self educator yang sangat independen, bebas, mandiri, dan berpikiran terbuka. Kuliah sambil bekerja di salah satu negara di Eropa, saya salut banget akan kegigihannya. Sebelumnya, saya seringkali meremehkan cara pikir Gen Z karena buat saya mereka masih ‘kecil’ banget dan nggak tau apa-apa. Tapi ternyata saya salah. Adik saya dan pacarnya buat saya menjadi bukti positif akan sifat-sifat khas Gen Z yang sangat baik. Mereka terus bertumbuh dan berkembang, nggak takut untuk belajar sesuatu yang baru. Dari mereka, saya belajar sangat banyak.
Dikenal keras kepala, sebagai seseorang berzodiak Aries, saya bisa bilang bahwa saya juga nggak kalah keras kepala. Meski demikian, menurut saya Gen Z seperti adik saya ini biasanya nggak akan keras kepala jika merasa nggak merasa benar dan tau segalanya. Ya singkatnya, kayak orang ngotot gitu. Adik saya memiliki pengetahuan yang sangat luas, ia juga terus mengikuti perkembangan berita dan mengetahui perkembangan tren supaya terus up to date. Belajar di Fakultas Kedokteran, saya nggak akan malu untuk mengakui bahwa adik saya sangat cerdas dibandingkan diri saya. Dalam berhadapan atau berdebat dengannya, saya harus punya dasar pemikiran yang kuat serta fakta-fakta yang valid. Apalagi, ia bisa dengan mudah memperoleh informasi dan mematahkan pendapat serta teori yang saya punya. Biasanya saat menemui kesulitan seperti ini, saya lebih membuka pikiran saya, dan mengajak adik saya untuk membuka pikirannya juga. Bahwa siapa saja bisa salah, dan kita harus mau berdiskusi secara terbuka supaya nggak malah jadi pertengkaran. Sebelumnya saya sering merasa adik saya ini ngototan banget dan susah dibilangin, tapi lama-kelamaan saya juga jadi belajar memahami pola pikirnya sebagai Gen Z sehingga kami bisa saling mengerti satu sama lain, ia juga jadi belajar soal Generasi Milenilal. 🙂
Dalam berkomunikasi, kebanyakan Gen Z yang saya temui cenderung berbicara sangat cepat dan berterus terang karena karakternya yang pragmatis dan menyukai kepraktisan. Mereka sangat logis. Secara etika dan tata krama, terkadang ini dilematis. Misalnya saat berbicara dengan pelayan restoran, mereka bisa berbicara dengan sangat tegas dan terkesan galak, padahal mereka nggak bermaksud seperti itu. Saya sendiri terkadang mengingatkan adik saya untuk berbicara dengan lebih lembut dan tersenyum, walaupun ia merasa dirinya sudah cukup ramah dan nggak bermaksud nggak sopan. Tapi ya… tata krama di Indonesia kan berbeda.
Berhadapan dengan Gen Z memang agak tricky, tapi nggak sesulit kelihatannya kok. Asal kita bisa terbuka saat berkomunikasi dengan mereka dan nggak sok pintar atau sok menggurui, pasti mereka mau terbuka dan berkomunikasi dengan kita–baik Generasi Milenial, Generasi X, dan juga Baby Boomers. Meskipun lebih tua, kita juga harus menyadari bahwa Gen Z juga manusia dan bukan anak kecil, cara pikir mereka bisa sangat dewasa karena mereka menyerap informasi dengan sangat cepat serta bantuan teknologi yang ada di sekitar mereka.
Berkomunikasi dengan Gen Z menurut saya bisa diibaratkan seperti berkomunikasi dengan pasangan, kita harus belajar saling mengerti dan saling kompromi, dengan begitu mereka juga bisa memahami kita. Semoga sharing saya tentang pengalaman berkomunikasi dengan Gen Z bisa membantu, ya. Terima kasih sudah mampir dan membaca!
Setuju! Adik saya juga kelahiran 98. Gaya komunikasinya asyik, rasa ingin tahunya juga tinggi, tapi tetap kritis.
Tosss, Mbak! Adik kita seumuran berarti. 🙂 Kita mesti belajar banyak nih dari Gen Z.