Bagi saya, ini topik yang amat sulit: bagaimana caranya memandang orang lain secara netral atau bagaimana caranya menghindari berprasangka pada orang lain–yang dalam postingan blog ini lebih suka saya bahas sebagai “Cara Menjadi Hakim yang Adil Bagi Orang Lain”. Sebagai seseorang yang seringkali berpikir negatif pada apapun, sangatlah nggak mudah bagi saya untuk menjadi hakim yang adil bagi orang lain.
Dalam Bahasa Inggris, kata yang menurut saya tepat untuk menggambarkan sebuah prasangka adalah “prejudice”. Pada dictionary.com, prejudice berarti “an unfavorable opinion or feeling formed beforehand or without knowledge, thought, or reason” atau yang dalam Bahasa Indonesia berarti ‘sebuah opini atau perasaan yang nggak diinginkan dimana opini atau perasaan itu terbentuk bahkan tanpa adanya sebuah pengetahuan, pemikiran, maupun alasan. Dalam KBBI, prasangka sendiri berarti ‘pendapat (anggapan) yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidiki) sendiri’. Secara singkat, prasangka adalah situasi dimana kita menilai buruk sesuatu, bahkan sebelum kita benar-benar memahami atau mengetahui hal tersebut. Pada postingan ini, saya akan berfokus pada penilaian terhadap orang lain; tentang bagaimana kita menjadi hakim bagi orang lain.
Sejak kecil, saya terbiasa memedulikan pendapat orang lain terhadap saya. Saya selalu ingin menjadi seorang warga kota yang nggak pernah melakukan kesalahan dan bersih di depan hakim pengadilan–yang dalam hal ini adalah orang lain yang berhadapan dengan saya. Saya bertumbuh dengan keinginan untuk disukai, diterima, dan diakui oleh orang lain, serta keinginan untuk selalu mendapat pujian dari orang lain. Ketika melakukan kesalahan–sekecil apapun itu, saya merasa seluruh dunia langsung memandang saya dengan buruk. Saya langsung merasa seperti seorang penjahat kriminal kelas kakap yang akan dihujat dan dikucilkan satu kota atau bahkan satu negara.
Saat menulis postingan ini, saya pun baru menyadarinya. Mungkin saya menjadi seseorang yang perfeksionis karena saya selalu ingin diterima oleh orang lain sejak saya masih kecil sekali, bahkan mungkin ketika saya belum bersekolah. Mama saya juga seseorang yang perfeksionis. Meski kedua orangtua nggak pernah menuntut anak-anaknya untuk memperoleh nilai yang bagus, kami bertumbuh menjadi anak-anak yang sangat memperhatikan nilai akademis. Saya selalu berusaha untuk mendapat peringkat minimal 10 besar di sekolah karena itulah standar untuk menjadi seorang anak yang baik–setidaknya yang saya ketahui dulu. Saya harus selalu tampak menjadi seorang anak penurut yang rajin belajar, seperti seorang warga kota teladan.
Karena terbiasa memedulikan pendapat orang lain terhadap diri sendiri, akhirnya muncul sebuah kebiasaan buruk yang mungkin bisa kamu tebak: ya, dulu saya terbiasa memiliki prasangka kepada orang lain, bahkan sebelum mengenal mereka. Sebuah kebiasaan yang akhirnya menjadi racun bagi pikiran saya sendiri. Kebiasaan ini sepertinya membuat saya menjadi takut menjalin relasi dekat dengan orang lain dalam waktu yang lama. Dengan begitu mudah dan naifnya, saya menilai orang lain tanpa benar-benar ‘melihat’ dan mencoba mencari tahu tentang mereka lebih lanjut. Saya kemudian nggak ‘mengizinkan mereka untuk mengenal saya lebih lanjut’. Ketika saya merasa nggak nyaman dan/atau terluka dalam suatu relasi, saya mundur perlahan. Kamu boleh saja beranggapan bahwa relasi yang saya maksud ini lebih ke arah hubungan romantis, tapi ketakutan saya dalam menjalin relasi juga terjadi pada hubungan pertemanan dan persahabatan. Singkatnya, menjadi warga teladan yang nggak ingin melakukan kesalahan sekecil apapun menjadikan saya seorang hakim yang nggak adil bagi orang lain, juga bagi diri sendiri.
Orang mungkin melihat saya sebagai pribadi yang sangat ramah, murah senyum, pandai bergaul… easy going-lah bahasa kerennya. Tetapi, kepribadian saya tersebut bisa dibilang hanya menjadi topeng terluar yang ingin saya tampilkan pada orang lain. Nggak bisa cuek pada pendapat orang lain tentang saya pada akhirnya menjadi bumerang bagi diri saya sendiri. Saya pun menjadi takut untuk menjalin relasi dengan pacar dan teman. Sahabat dekat yang benar-benar tahu semua cerita kerapuhan dan trauma saya mungkin nggak sampai 5 orang, dan itu pun bisa terjadi setelah saya berani membuka diri dalam beberapa tahun belakangan. Aneh, ya? Jika membahas lebih dalam lagi, saya nggak yakin postingan blog ini akan selesai dalam waktu dekat… yang jelas, ketika saya mulai berani membuka diri dan nggak membiarkan diri saya dipengaruhi oleh penilaian orang lain terhadap saya, secara perlahan saya bisa menjadi hakim yang adil bagi orang lain.
Pada akhirnya, saya sadar bahwa siapa saja bisa menjadi hakim yang adil bagi orang lain, termasuk diri saya. Jika saya ingin dinilai secara adil orang lain, saya juga harus berani mengambil langkah untuk bisa menjadi seorang hakim yang adil bagi orang lain. Langkah pertama adalah dengan menjadi seorang warga kota yang membuka diri dan menyadari bahwa saya adalah seorang warga yang nggak sempurna, pun seorang manusia biasa. Nggak apa-apa kok menjadi seseorang yang rapuh. Nggak apa-apa kok melakukan kesalahan. Membuat kesalahan adalah salah satu bagian terpenting dari hidup manusia karena dengan belajar dari kesalahan yang kita lakukan, kita bisa terus berkembang dan bertumbuh sembari menjalani hidup.
Ketika saya mulai menyadari bahwa saya bukanlah seorang warga kota teladan yang sempurna, kemudian menyadari bahwa semua orang punya kerapuhan dan ceritanya masing-masing, dari situlah saya mulai bisa menjadi hakim yang adil bagi orang lain. Saya bisa mulai melihat dan berpikir jernih. Saya menyesali segala prasangka yang saya berikan pada orang lain secara nggak adil. Saya menyadari kemunafikkan saya dulu. Di dalam dunia yang berubah begitu cepat, cara paling mudah untuk beradaptasi agar tetap waras dan sehat adalah dengan melihat segala hal dari dua sisi. Untuk bisa mengimbanginya, saya terus menjalani proses untuk menjadi hakim yang adil bagi orang lain dengan memainkan peran sebagai seorang warga kota yang nggak sempurna.
Di saat saya menyadari bahwa saya punya dua peran yang amat berbeda: hakim yang adil dan warga yang nggak sempurna, saya bisa menerapkannya juga bagi orang lain. Kini saya bisa menilai orang lain secara adil karena saya menyadari bahwa nggak ada warga yang sempurna. Begitu pula sebaliknya, ketika saya menjadi seorang warga yang nggak sempurna, orang lain bisa benar-benar mengenal saya karena saya nggak berusaha keras untuk menutupi kerapuhan yang saya miliki. Kita semua manusia.
Bisakah kita menjadi hakim yang adil bagi orang lain? Tentu bisa. Akan tetapi, semuanya bergantung pada diri kita sendiri. Maukah kita menjadi hakim yang adil bagi orang lain?
Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya. Sampai jumpa lagi. 🙂