Ulat Sagu: Si Gendut Putih yang Sudah Sampai Belanda

Sate ulat sagu bakar

Makanan yang enak kerap diidentikkan dengan tampilannya yang juga ‘enak’ dipandang. Sayangnya, hal ini nggak berlaku pada si gendut putih asal Papua, yaitu ulat sagu.

Begitu mendengar namanya saja, mungkin kamu akan merasa geli. Bagaimana mungkin kita makan ulat?

Jujur saja, saya pun begitu, apalagi waktu saya melihatnya pertama kali secara langsung di Sorong, Papua Barat.

Kala itu, teman seperjalanan saya, yaitu Mas Bolang, baru pulang dari pasar dan membeli beberapa tusuk ulat sagu bakar yang tentunya langsung membuat mata saya terbelalak.

Setengah kaget dan penasaran, perjumpaan pertama saya dengan makanan khas Papua ini pun menjadi salah satu momen yang nggak terlupakan dalam hidup saya.

Sate ulat sagu bakar
Sate ulat sagu bakar. — Foto: Barry Kusuma

***

Sesuai namanya, ulat sagu berasal dari tanaman sagu yang sebenarnya merupakan larva kumbang merah yang bertelur dalam tanaman sagu yang membusuk. Di Indonesia sendiri, 90 persen tanaman sagu di Indonesia berada di Papua, sementara sekitar 10 persennya lagi berada di daerah Maluku. Menggeliat-geliat seperti ulat pada umumnya, ulat sagu, yang biasa disebut “Koo”, memiliki tubuh yang gendut dan berwarna putih susu. Jika diukur, besarnya hampir sama dengan ukuran ibu jari saya. Cukup besar, bukan?

Saat saya pertama kali berjumpa ulat sagu, saya sendiri pun langsung berada dalam dilema. Ketika itu, saya hanya memiliki dua pilihan yang sangat bertolak belakang, yaitu menolak mencicipinya karena begitu menggelikan atau seenggaknya mencoba satu ‘keping’ untuk yang pertama kali (dan mungkin untuk yang terakhir kalinya) sehingga saya nggak akan dihantui rasa penasaran akan cita rasa ulat sagu yang sesungguhnya.

Akhirnya, pilihan saya pun jatuh kepada pilihan yang kedua.

Berkutat di dapur dalam waktu yang cukup lama, Mas Bolang akhirnya tiba dengan hidangan ulat sagu masak balado yang membuat saya menelan ludah — bukan karena ingin makan, tapi karena takut.

“Dicoba saja, Fin. Sekali saja. Enak, kok.” Saya nggak akan pernah bisa lupa bagaimana Mas Bolang berusaha meyakinkan saya untuk mencicipi ulat sagu.

Dengan amat gugup, saya kemudian memberanikan diri mengambil dua keping ulat sagu yang sudah dimasak balado.

“Ini kan sudah dimasak, jadi nggak apa-apa. Dulu gue makan yang mentah.” Glek. Saya kembali menelan ludah.

Ulat Sagu Bakar dimasak balado
Ulat sagu bakar yang sudah dimasak balado oleh Mas Bolang saat kami berada di Sorong.

Saya ingat betul bagaimana saya sempat mengirimkan gambar ulat sagu masak balado ini ke beberapa teman via pesan singkat dan menceritakan bagaimana saya begitu gugup saat hendak mencicipinya. Ya, saya segugup itu. Butuh waktu kurang lebih 20 menit bagi saya untuk benar-benar berani mencicipi ulat sagu tersebut dan Mas Bolang bahkan membantu saya memotong kepalanya, serta merekam video saat saya mencicipi ulat sagu sambil memejamkan mata.

Dan ternyata… rasanya pun nggak seburuk yang saya bayangkan.

Jika kamu mau tahu bagaimana rasanya, teksturnya benar-benar mirip sosis. Dengan kulit yang garing serta daging yang begitu padat dan kenyal, rasa ulat sagu ternyata cukup enak! Saya pun nggak heran bila banyak orang yang doyan memakan ulat sagu (terlepas dari tampilannya yang nggak menarik). Akan tetapi, jika kamu orang yang mudah merasa jijik atau geli (seperti saya), mungkin kamu akan membutuhkan lebih banyak keberanian untuk mencicipi ulat sagu. Yang jelas, saran saya, jika kamu memperoleh kesempatan untuk mencicipi ulat sagu, seenggaknya kamu harus mencicipi satu keping saja untuk tahu bagaimana rasa ulat sagu.

Ulat Sagu Bakar

Bagi saya, sih, ulat sagu ini benar-benar mirip sosis. Bila diolah dengan benar dan nggak terlihat seperti ulat, mungkin akan ada banyak orang yang mau mencicipinya dan akan ketagihan.

Di luar pengalaman pertama saya mencicipi ulat sagu, meski terlihat menggelikan, si gendut putih ini telah terbukti menjadi salah satu makanan Indonesia yang kaya akan protein dan bebas kolesterol, lho!

Dalam 100 gram ulat sagu mentah yang hendak dimasak, terdapat 9,34% protein serta beberapa jenis kandungan asam amino esensial, seperti asam aspartat (1,84%), asam glutamat (2,72%), tirosin (1,87%), lisin (1,97%), dan methionin (1,07%).

Nggak hanya itu, ulat sagu juga kerap disebut-sebut sebagai salah satu sumber makanan di Papua yang dapat meningkatkan stamina dan daya tahan tubuh!

Nah, karena memiliki kandungan gizi yang begitu kaya tersebut, akhirnya salah satu anak bangsa yang berasal dari tanah Papua, yaitu Mike Toam, kemudian memilih ulat sagu sebagai objek penelitiannya untuk Konferensi Internasional Peneliti Muda di Nijmegen, Belanda, pada pertengahan April 2012 yang lalu. Dalam penelitiannya, Mike kemudian mengolah ulat sagu menjadi berbagai jenis makanan yang digemari masyarakat, seperti bakso, spaghetti, nasi goreng, sandwich, dan keripik, demi menghilangkan kesan geli dan menjijikkan yang kerap melekat pada serangga gendut putih ini. Nggak sia-sia, penelitian tersebut pun berhasil membuat Mike menjadi peraih medali perunggu dalam Konferensi Internasional Peneliti Muda 2012! Siapa sangka, ulat sagu bisa sampai ke Belanda? Langsung mendapatkan perhatian dunia pula!

“Tanah Papua, tanah yang kaya…”

Saya nggak akan pernah bisa lupa lirik lagu “Tanah Papua” karya Edo Kondologit ini. Nggak hanya terkenal akan budaya serta keindahan bawah lautnya, ternyata Papua juga memiliki ulat sagu yang menjadi salah satu makanan daerah yang bahkan sudah sampai ke Belanda. Memiliki nilai gizi yang tinggi, ulat sagu benar-benar pantas disebut-sebut sebagai salah satu warisan kuliner dengan kandungan gizi terbaik di Indonesia.

Written by
Sefin
Join the discussion

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

10 comments
TheJournale

I am a #JBBinsider

Ulat Sagu: Si Gendut Putih yang Sudah Sampai Belanda