Mengenang Rammang-Rammang

Rammang-Rammang, Maros, Sulawesi Selatan.
Rammang-Rammang, Maros, Sulawesi Selatan.

Nggak ada hal yang lebih menyenangkan daripada melihat seseorang yang kita sayang, mengembangkan senyum. Seenggaknya, itulah yang saya rasakan saat berkesempatan mengunjungi salah satu obyek wisata alam yang indah di Sulawesi Selatan. Perjalanan yang sudah hampir dua bulan berlalu itu, masih begitu segar di ingatan. Saya dan adik bungsu kesayangan saya, Chika, akhirnya bisa bertualang berdua dan menghabiskan waktu secara spesial di sebuah tempat yang jauh dari rumah.

Pada 23 Juni 2015 yang lalu, saya dan Chika, akhirnya tiba di jantung Kota Makassar, Sulawesi Selatan, setelah naik penerbangan Garuda Indonesia (GA) yang kami dapatkan dengan harga terjangkau. Siapa sangka kami dapat naik penerbangan dengan Kenyamanan Kelas Dunia jika bukan karena Promo Menarik GA? Yang jelas, saat itu kantong dan hati kami begitu senang, apalagi kami akan segera mengunjungi Destinasi Impian kami, Rammang-Rammang; tempat berdirinya gugusan gunung-gunung batu kapur alias karst yang begitu menakjubkan.

Saya dan Chika tiba di Dermaga Perintis, Kabupaten Maros, setelah hampir satu jam berkendara naik mobil bersama seorang teman, yaitu Kak Ayit, dari Kota Makassar. Itu adalah kali pertama saya mengajak Chika berlibur berdua saja dan saya ingin memberikan sebuah memori yang nggak terlupakan baginya. Hitung-hitung, perjalanan itu adalah hadiah dari saya karena Chika selalu berhasil menjadi juara kelas.

Dermaga Perintis, Rammang-Rammang.
Dermaga Perintis, Rammang-Rammang.
Dermaga Perintis, Rammang-Rammang.
Dermaga Perintis, Rammang-Rammang.

Kami naik sebuah perahu panjang yang disewa seharga 200.000 rupiah untuk perjalanan pulang-pergi menuju Rammang-Rammang. Setelah memakai topi caping ala nelayan dan menyiapkan kamera, kami langsung duduk manis sambil mengamati sekeliling. Saya duduk paling depan, Chika duduk tepat di belakang saya, sementara Kak Ayit duduk tepat di depan Daeng Beta, seorang bapak dari Kampung Berua yang perahunya kami sewa.

Chika, Kak Ayit, dan Daeng Beta.
Chika, Kak Ayit, dan Daeng Beta.

Saat memotret pemandangan gunung-gunung karst yang membuat saya ternganga, sesekali saya menengok ke belakang untuk melihat wajah Chika. Saya pun langsung tersenyum ketika melihatnya tersenyum lebar sambil mengabadikan pemandangan di sekeliling yang begitu indah. Pohon-pohon kelapa dan bakau yang tumbuh beraturan mengikuti kelok sungai, turut mendekorasi keindahan pemandangan yang sudah ada. Arus air begitu tenang, seperti halnya hati saya setelah melihat senyum yang mengembang di wajah Chika.

Pemandangan menuju Kampung Berua.
Pemandangan menuju Kampung Berua.
IMG_20150623_120904_HDR
Deretan pohon kelapa yang kami jumpai, beserta seorang bapak dan perahunya.

Setelah 30 menit duduk di atas perahu kecil, akhirnya kami melewati sebuah terowongan batu yang sedikit gelap. Awalnya saya bingung, tapi kemudian saya melihat deretan perahu dan beberapa bapak-bapak yang tengah menunggui perahu mereka, di ujung terowongan batu tersebut. Saya, Chika, dan Kak Ayit akhirnya tiba di Rammang-Rammang berkat perahu Daeng Beta. Saya pun nggak lupa memotret Chika di depan plang β€œSelamat Datang di Kampung Berua”.

Terowongan batu di Rammang-Rammang.
Terowongan batu.
Chika di Kampung Berua.
Chika di Kampung Berua.

Untuk sebuah kampung, Berua bisa dibilang kecil. Jumlah keluarga yang tinggal di sana juga hanya belasan. Di bawah langit biru yang terhampar luas, kami menyusuri jalan dan mengikuti Daeng Beta serta Kak Ayit untuk mampir ke rumah Daeng Beta sambil menengok ke kanan dan ke kiri, memperhatikan gunung-gunung batu yang menjulang tinggi. Usut punya usut, Daeng Beta ternyata bukan orang biasa di Kampung Berua. Beliau adalah Kepala Kampung Berua! Wah, kami sangat beruntung, bukan? Kapan lagi bisa naik perahu seorang kepala kampung?

Sebuah masjid kecil di Kampung Berua, di bawah langit biru yang luas.
Sebuah masjid kecil di Kampung Berua, di bawah langit biru yang luas.

Di rumah Daeng Beta, saya dan Chika nggak hanya bisa bermain. Kami juga melahap makan siang yang disuguhkan oleh istri Beliau, sementara Kak Ayit memilih untuk berbaring karena saat itu ia sedang puasa. Menu makan siang pada waktu itu begitu lezat, apalagi ikan gorengnya. Dan meskipun Chika termasuk orang yang sangat pemilih saat makan, saya senang sekali karena Chika makan cukup lahap di rumah Daeng Beta.

Makan siang di rumah Daeng Beta.
Makan siang di rumah Daeng Beta.

Kami menghabiskan waktu hampir 2 jam di Kampung Berua, duduk-duduk di rumah Daeng Beta sambil memandangi gagahnya gunung-gunung karst, hamparan sawah yang begitu hijau, serta sapi dan ayam yang tengah berada di sawah. Semilir angin saat itu begitu menyejukkan, membuat saya lupa sejenak akan penatnya kesibukan di kota.

Pemandangan yang kami lihat saat duduk-duduk di rumah Daeng Beta.
Pemandangan yang kami lihat saat duduk-duduk di rumah Daeng Beta.
Saya dan Chika wefie di rumah Daeng Beta.
Saya dan Chika wefie di rumah Daeng Beta.

Dengan terpaksa, kami kembali dari Kampung Berua menuju ke Dermaga Perintis. Meski bisa dibilang begitu singkat, saya nggak akan bisa melupakan kenangan yang saya buat bersama Chika di Rammang-Rammang. Berkat Kak Ayit, Daeng Beta, juga GA, akhirnya saya bisa mengajak Chika berlibur ke Destinasi Impian kami. Ya, saya akan selalu mengenang Rammang-Rammang.

Pemandangan yang kami lihat dalam perjalanan menuju ke Dermaga Perintis.
Pemandangan yang kami lihat dalam perjalanan menuju ke Dermaga Perintis.
Sampai jumpa lagi, Dermaga Perintis!
Sampai jumpa lagi, Dermaga Perintis!
Written by
Sefin
Join the discussion

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

17 comments
TheJournale

I am a #JBBinsider

Mengenang Rammang-Rammang